Suksesi Politik Masa Transisi
Oleh:
Firmansyah Putra, S.H.,M.H
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Jambi
Setelah pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota serentak di seluruh Indonesia, reaksi gugatan yang dilayangkan oleh pihak yang merasa dicurangi/dirugikan atas hasil yang ditetapkan oleh KPU setempat tidak dapat dielakkan. Namun ada juga yang menghargai dan menerima hasil dari pemilihan tersebut. Mungkin kita harus lebih dewasa dalam berdemokrasi, menjadikan segala sesuatu menjadi pembelajaran menuju demokrasi yang matang. Perlu diingat bahwa, jangan lagi ada slogan “Siap menang tidak siap kalah, jika kalah siap-siap gugat ke MK”. Hal ini juga sudah di antisipasi oleh MK bahwa ada beberapa kriteria hasil Pemilihan yang dapat diajukan kepada MK terkait dengan ambang batas selisih suara untuk pengajuan gugatan. Sementara batas waktu untuk memproses sampai pada putusan, MK hanya memilik waktu 40 hari saja.
Ketentuan yang mengatur syarat pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil pemilihan kepala daerah. Secara khusus, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 158 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota Menjadi Undang-Undang. Oleh sebab itu, diperlukan suatu rekonstruksi politik hukum ke depan (Ius Constituendum) salah satunya adalah dengan membentuk pengadilan khusus di daerah yang menangani perkara pemilihan Kepala Daerah.
Untuk mengetahui sejauh mana Pemilihan itu demokratis, dapat dilihat baik dari pihak penyelenggara, peserta dan pemilih yang menentukan apakah pemilihan tersebut demokratis atau tidak. Dalam tulisan ini, penulis tidak membahas lebih lanjut mengenai hal tersebut, tetapi lebih kepada diskursus mengenai suksesi politik di masa transisi.
Suksesi berasal dari bahasa Belanda yang berarti pergantian seorang Raja oleh seorang Putra Mahkota. Dalam bahasa Inggris disebut Succeed (berhasil, menggantikan (jabatan)). Politik adalah strategi untuk mendapatkan, menjalankan, dan mempertahankan kekuasaan (Fatahullah Jurdi, 2014:80). Suksesi politik di masa transisi hakikatnya adalah bagaimana cara penguasa dalam upaya melanjutkan roda pemerintahan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen adalah sebuah konsep untuk menegakan tatanan konstitusional dalam perikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menurut sendi-sendi kerakyatan (demokrasi), Negara berdasarkan atas hukum, dan kesejahteraan umum menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia (Bagir Manan, 2000:80). Kedaulatan yang diserahkan oleh rakyat kepada penguasa, orientasinya harus kembali lagi kepada rakyat. Yaitu kemauan bersama dari anggota-anggota masyarakat yang menyerahkan pelaksanaan kedaulatan itu. Karena sesungguhnya kedaulatan itu tetap berada ditangan rakyat sedangkan yang diserahkan hanyalah pelaksanaannya saja.
Kedepan yang diharapkan oleh masyarakat khususnya di wilayah Provinsi Jambi kepada gubernur terpilih adalah bagaimana cara percepatan untuk mencapai visi dan misi maupun janji politik yang telah disampaikan pada saat kampanye yang lalu. Demokrasi nampaknya tidak bisa dipisahkan dari pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan tata kepemerintahan dan kegiatan poiitik. Semua proses poiitik dan lembaga-lembaga pemerintahan berjalan seiring dengan jalannya demokrasi. Meunurut Ranny, “demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan prinsip-prinsip yang berdasarkan atas Kedaulatan rakyat (popular sovereignty), Kesamaan politik (political equality), Konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation), Aturan suara mayoritas” (Miftah Thoha, 2012:99).
Berdasarkan pendapat di atas, lebih lanjut di bawah ini akan dijelaskan pemerintahan yang dapat dikatakan demokratis, apabila : Pertama. Kedaulatan rakyat (Popular Sovereignty) Prinsip kedaulatan rakyat itu menekankan bahwa kekuasaan tertinggi (the ultimate power) untuk membuat keputusan terletak di tangan seluruh rakyat, bukannya berada di tangan beberapa atau salah satu dari orang tertentu. Oleh karena itu pendapat /opini masyarakat baik langsung maupaun tidak langsung perlu diper- timbangkan. Kedua. Kesamaan politik (political equality)
Dapat dikemukakan bahwa “prinsip demokrasi yang mendasarkan pada kesamaan politik itu menekankan adanya kesamaan kesempatan bagi seluruh rakyat atau warga negara tersebut untuk memainkan peran dalam proses pembuatan keputusan politik suatu Negara”. (Miftah Thoha, 2012:102-103). Point kedua ini mengingatkan terhadap pemerintah agar lebih terbuka terhadap kritikan dari masyarakat, karena masyarakat dapat berperan sebagai pengamat (watch dog) terhadap penyimpangan yang terjadi. Ketiga. Konsultasi atau dialog dengan rakyat (popular consultation). Prinsip konsultasi rakyat ini merupakan syarat ketiga dari sistem pemerintahan yang demokratis. Prinsip ini mempunyai dua ketentuan, yakni: (a). Negara harus mempunyai mekanisme yang melembaga yang dipergunakan oleh pejabat-pejabat negara memahami dan mempelajari kebijakan publik sesuai dengan yang dikehendaki dan dituntut oleh rakyat. (b) Negara harus mampu mengetahui secara jelas preferensi-preferensi rakyat. (Miftah Thoha, 2012:103-104). Point ketiga diatas merupakan konsekuensi logis dari kedaulatan rakyat dan demokrasi. Ketentuan (a) dan (b) mengharuskan pula bagi pejabat untuk berkomunikasi dengan rakyat. Sarana komunikasi dalam pemerintahan yang demokratis dapat dilakukan dengan berdialog. Keempat. Kekuasaan mayoritas (Mayority rule). “Prinsip suara mayoritas ini menghendaki agar suara terbanyak yang mendukung atau yang menolak dijadikan acuan diterima atau ditolaknya suatu kebijakan publik”. (Miftah Thoha, 2012:105).
Perlu dicatat di sini bahwa prinsip ini bukanlah berarti bahwa setiap tindakan pemerintah harus dikonsultasikan kepada rakyat atau disahkan oleh mayoritas. Melainkan suara mayoritas ini hanya diperlukan bagi pelbagai jenis proses pengambilan kebijakan publik yang tetap mengedepankan permusyawaratan dalam perwakilan. Artinya kebijakan-kebijakan public tetap memerlukan persetujuan legislative.
Terakhir penulis menyatakan bahwa suksesi bukan hanya sekedar proses pergantian kekuasaan ataupun rutinitas pemilu belaka. Hal ini harus diwujudkan oleh seorang elite untuk memperlihatkan komitmen apa yang akan dilakukan saat memegang kekuasaan yang telah di amanatkan kepadanya. Sehingga penguasa melaksanakan komunikasi dan aktivitas politiknya tidak lain berdasarkan kepentingan rakyat. Terpilihnya seorang Kepala Daerah baik menempatkan kedaulatan benar-benar berada di tangan rakyat sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945, Bukan berdasarkan kepentingan partai politik agar Kepala Daerah tersebut menjadi semakin kuat untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat serta memelihara sistem keta-tanegaraan yang mencakup kewenangan memelihara kesinam-bungan ketatanegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Eksistensi Kepala Daerah berfungsi untuk mewakili kepentingan-Kepentingan rakyat, menyalurkan aspirasi rakyat serta mengakomodasikan aspirasi tersebut. Setiap keputusan politik harus melalui proses yang demokratis dan transparan dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat.
Persaingan yang telah terjadi pada saat pemilihan yang lalu sudah selesai, dan kini saatnya memantapkan Konsolidasi Demokrasi guna kepentingan rakyat. Kunci keberhasilan elite politik salah satunya adalah pemerataan pembangunan. Jangan ada sitgma sosial yaitu menjadikan politik balas dendam terhadap sekelompok masyarakat yang bukan konstituennya. Keadilan dan hukum salah satu faktor yang besar guna menata kelembagaan pemerintahan yang demokratis. Dibungkus dengan moral dam ahlakul karimah yang bersumber dari nilai-nilai agama yang akan menerangi perilaku para elite menuju pemerintahan madani.